Jakarta, 15 Juli 2025 — Pemerintah melalui Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PVTPP) Kementerian Pertanian menggelar rapat koordinasi lintas sektor untuk membahas regulasi penerapan teknologi genome editing dalam pertanian. Pertemuan ini menjadi langkah strategis untuk merespons perkembangan bioteknologi modern serta menyiapkan kerangka hukum yang mendukung inovasi berbasis sains.
Rapat yang berlangsung di kantor PVTPP dipimpin oleh Kepala Pusat PVTPP dan Koordinator Pendaftaran dan Pelepasan Varietas, serta dihadiri oleh perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tim Teknis Keamanan Hayati, asosiasi pelaku usaha, dan lembaga terkait lainnya.
Dalam arahannya, Kepala Pusat PVTPP menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut diskusi Forum APSA di Malaysia, serta momentum untuk membangun sinergi lintas sektor guna mendukung pengembangan varietas unggul nasional. Ia menegaskan pentingnya segera menyusun regulasi khusus genome editing karena Indonesia saat ini belum memiliki dasar hukum yang mengatur secara spesifik.
“Indonesia memiliki sumber daya yang memadai, tetapi ketiadaan regulasi menjadi tantangan. Kita perlu menyusun kerangka hukum, mekanisme asesmen, hingga harmonisasi prosedur antar kementerian/lembaga untuk mendukung pengembangan bioteknologi ini,” ujarnya.
Asisten Deputi Peningkatan Daya Saing Produk Tanaman Pangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menambahkan, tren genome editing bersifat global dan tidak terhindarkan. Sejumlah negara seperti Korea Selatan telah memiliki undang-undang khusus. Sementara di Indonesia, regulasi masih mengacu pada produk rekayasa genetik (PRG) secara umum. Ia menyarankan agar dilakukan pengkajian apakah perlu membuat aturan baru atau menyesuaikan definisi dalam regulasi yang sudah ada.
Dari aspek lingkungan, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK menyoroti pentingnya peran Komisi Keamanan Hayati dalam memberikan rekomendasi saintifik terhadap produk genome editing. Ia menjelaskan bahwa saat ini, produk genome editing diklasifikasikan ke dalam SDN-1, SDN-2, dan SDN-3, berdasarkan keberadaan materi genetik asing dalam produk akhir.
Perwakilan BRIN menyampaikan bahwa pendekatan case-by-case perlu diterapkan dalam mengklasifikasikan produk sebagai PRG atau non-PRG. Ia juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas laboratorium dan sumber daya manusia untuk mendukung asesmen yang akurat dan berbasis bukti ilmiah.
Sementara itu, CropLife Indonesia memaparkan bahwa sejumlah negara seperti Jepang dan Argentina menerapkan regulasi berbasis produk, bukan proses. Pendekatan ini dianggap lebih fleksibel, inovatif, dan memberikan kepastian hukum. Indonesia diusulkan mengadopsi pendekatan serupa dengan prinsip kehati-hatian dan keterbukaan informasi.
Rapat ini menghasilkan beberapa poin penting, yaitu:
· Diperlukan harmonisasi regulasi lintas kementerian/lembaga;
· Penetapan klasifikasi produk genome editing;
· Peningkatan literasi publik terhadap bioteknologi modern;
· Pembentukan gugus kerja lintas sektor untuk menyusun regulasi yang relevan.
Dengan digelarnya rapat ini, pemerintah menegaskan komitmennya untuk menghadirkan regulasi yang adaptif dan berbasis sains, guna mempercepat inovasi pertanian nasional serta memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia
Dilihat 11 kali
Ikuti terus informasi terbaru
Supaya selalu up-to-date!